![]() |
Guru KH. Abdurrazak Makmun |
Sewaktu Abdurrazak Makmun (atua Guru Rozak Makmun) masih kecil, saat
Guru Makmun tengah memberikan tashwir di tengah santrinya, Abdurrazak kecil
tiba-tiba mulai membuat ulah yang tak diperlukan. Karena ulahnya, suasana
Tashwir jadi buyar. Tashwir adalah istilah Islam Betawi, artinya membaca,
mengartikan, dan menjelaskan kitab. Guru
Makmun, Ayahanda dari Guru Abdurrazak, mulai terganggu dengan ulah anaknya.
Tatapan Guru Makmun pada kitab di hadapannya, tak lagi teratur. Konsentrasi
terpecah, lirikan pahitnya meminta si anak menyudahi tingkah-laganya. Pada kesempatan lain, Abdurrazak sebagai anak kecil hampir tak pernah luput
menyertakan diri dalam pengajian yang digelar di rumahnya.
Singkat
cerita, Abdurrazak adalah anak yang tumbuh dengan lumrah, kadang nurut, kadang
bikin kecut. Namun, bila sudah berani bikin onar dalam tashwir, hanya
Abdurrazak kecil pelakunya. Abdurrazak dinilai sudah kebangetan bangornya.
Kalau kenakalan anak sezamannya bisa ditangani siapapun untuk menghentikan
ulahnya, maka Abdurrazak kecil tidak bisa ditertibkan sama sekali. Jangankan
orang lain, isyarat bapaknya sendiri tidak diindahkan. Ia benar-benar tambeng,
sudah tidak dengar kata-kata lagi.
Suatu
hari, Guru Makmun empet (sebal) dengan kelaguan anaknya, dan menyiapkan pukulan sebagai
hukuman. Perkara dihukum atau tidak, menggantung pada kemampuannya menjawab
soal yang dianjurkan Guru Makmun.
“Zak,
kemari lu!” perintah Guru Makmun.
“Jadi
apa nih Zak kedudukan nahwu-nya?” tanya bapaknya sambil menunjuk secara acak ke
dalam “kitab gundul”.
Hukuman
pun sudah di ujung tanduk kalau-kalau ia tak sanggup menjawab soal yang
disorongkan. Ia mengulur lehernya dengan mata mengejar kata sebelum dan sesudah
kalimat yang dimaksud.
“Yang
ini jadi fa‘il,” jawab Razak yakin. Dengan jawaban yang tepat, ia lolos dari
hukuman karena mengguncang suasana taklim bapaknya.
Meski
kadang pegal hati, Guru Makmun sangat yakin akan potensi anaknya. Baginya
sebagai orang tua dan guru, dunia anak dengan rupa-rupa kelakuannya masih tetap
menyuguhkan harapan. Kekhuatiran orang tua dan guru pada pertumbuhan anak, sama
sekali tak beralasan dengan catatan mereka masih dalam kontrol dan arahan
pendidikan agama. Keyakinan Guru Makmun, terwujud belasan tahun kemudian. Berkat
disiplin yang kuat dalam mengaji, si anak menjadi kiai yang disegani Mekkah dan
Indonesia. Konon, pada suatu kesempatan acara NU tahun 30an, ia menyampaikan
pandangan keagamanya, hingga Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy‘ari kagum. Kala itu
Abdurrazak, baru berusia 20 tahun.
Selain
mengaji di Jakarta, ia pernah menggali ilmu agama di Mekkah selama 6 tahun.
Karena keluasan ilmu fiqhnya, Guru Abdurrazak pernah duduk sebagai Katib
Syuriah PBNU 1967-1971. Kiai Bisri Syansuri menyaksikan sendiri dan mengakui
kompetensi fiqh kiai Kuningan ini. Di
awal tahun 1945, ia bersama KH. Ali Syibromalisi, pamannya dan KH. Abdussyakur
Khairi diutus oleh KH. Ahmad Djunaidi (orang tua H. Mahbub Djunaidi, aktivis
kawakan NU) untuk menghadiri Muktamar NU di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa
Timur.
Tiba
di Jakarta, ketiganya menggagas pendirian Madrasah Raudhatul Muta’allimin
dengan berbadan hukum yayasan. Dengan ilmu dan niat yang suci, mereka
melaksanakan amanat muktamar tersebut dalam rangka mengembangkan agama, bangsa
dan negara lewat jalur pendidikan. Itikad baik ini disambut baik masyarakat,
pengusaha dan para kiai Kuningan, Jakarta Selatan.
Selain
tersohor sebagai pendiri madrasah, Guru Abdurrazak juga dikenal sebagai ’singa
podium’. Namanya akrab di kuping hampir seluruh penduduk Betawi kala itu.
Kiprahnya mulai dikenal orang ketika pada dekade 1950-an dan 1960-an, ia
menjadi penceramah utama di Kwitang, di majelis Habib Ali Kwitang, sehingga
menjadi kesayangan Habib Ali Kwitang.
Kepeduliannya
akan urusan sosial kemasyarakatan, adalah komitmen besar pribadinya. Di tahun
1980-an pemerintah menggalakkan program transmigrasi. Ia seorang kiai yang
sangat getol mengampanyekan program tersebut. Tak hanya di podium, ia turun
langsung melihat perkembangan para transmigran di Lampung. Alasannya, para
transmigran kebanyakan adalah umat Islam. Kalau bukan kiainya, siapa lagi yang
mau peduli akan nasib mereka. Di kantong-kantong daerah transmigrasi, Guru
Abdurrazak memberikan dukungan moral untuk para transmigran. Di usia senja, ia
tetap semangat berkampanye isu transmigrasi yang sangat terkait hajat hidup
orang banyak.
KH.
Ishak Yahya (1928-1980), pendiri Pesantren Miftahul Ulum, Gandaria, Jakarta
Selatan adalah muridnya di Mekkah yang kemudian sangat karismatik di lingkungan
NU dan masyarakat umum. Murid-muridnya yang lain kemudian menjadi ulama
terkenal adalah KH. Abdul Azdhim Suhaimi, KH. Sidiq Fauzi, KH. Muhammad Zaini
Ahmad, KH. Salim Jaelani dan adiknya, KH. Soleh Jaelani, KH. Muchtar Ramli, KH.
Abdurrazak Chaidir, KH. Abdul Hayyi, dan KH. Abdur Rasyid. (ASR)
Sumber:
NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar