Selain mukjizat dan karamah, kemampuan semacam supra-alami lainnya yang dikenal dalam masyarakat ialah sihir. Tapi berbeda dengan mukjizat dan karamah, sihir senantiasa mengandung makna kejahatan.
Apakah sihir itu ada? Pertanyaan seperti itu terdengar sangat sederhana, tetapi barangkali cukup penting untuk memulai pem¬bicaraan kita. Sebab, selain ada kalangan yang tidak saja meyakini bahwa sihir itu ada—bahkan sepenuhnya menggunakan sihir itu untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang lain, namun ada juga kalangan yang mengatakan bahwa sihir adalah sejenis “gugon tuhon” atau takhayul (takhayyul—hasil khayalan). Maka jawaban atas pertanyaan itu ialah bahwa sepanjang yang kita dapatkan dalam kitab suci, sihir itu memang ada. Bahkan surah yang kedua terakhir dalam Al-Quran, yaitu surat Al-Falaq (Q., 113), merupakan doa memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan kaum sihir. Persoalannya ialah bagaimana penilaian Al-Quran terhadap sihir dan para pengamalnya itu. Dalam Al-Quran, sihir dikaitkan dengan kekafiran (yang dalam arti generiknya ialah sikap menutupi atau menolak kebenaran). Ini dapat kita simak dari rentetan firman suci, Dan sungguh telah Kami (Tuhan) turunkan kepada engkau (Muhammad) keterangan-keterangan yang jelas. Tidak ada yang menolak (kebenaran)-nya kecuali orang-orang durhaka. Apakah setiap kali mereka membuat perjanjian, segolongan dari mereka mencampakannya? Namun memang sebagian besar mereka tidak beriman. Dan tatkala datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang mendukung kebenaran apa yang ada pada mereka sendiri, justru segolongan dari mereka yang telah mendapatkan kitab suci (terdahulu) mencampakkan kitab Allah ke belakang, seolah-olah mereka tidak tahu. Dan mereka turutkan apa yang diceritakan (secara palsu) oleh setan-setan mengenai kerajaan Sulaiman. Sulaiman sendiri tidaklah menolak kebenaran, tetapi setanlah yang menolak kebenaran. Mereka (setan-setan) itu mengajari manusia sihir dan sesuatu yang diturunkan kepada Babilonia kepada (dua malaikat) Harut dan Marut. Tetapi keduanya itu tidaklah mengajari seorang pun hal tersebut (sihir) kecuali dengan mengatakan (sebagai peringatan): “Kami (berdua) ini tidak lain hanyalah percobaan (fitnah), karena itu janganlah kamu menolak kebenaran (kafir).” Namun manusia belajar dari kedua malaikat itu sesuatu (sihir) guna memisahkan seseorang dari pasangan hidupnya. Tetapi mereka dengan (sihir) itu tidak akan mampu membahayakan seseorang kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang membahayakan mereka dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Mereka sendiri benar-benar sudah tahu bahwa orang yang membeli (menggunakan) sihir itu tidak akan mendapatkan bagian apa-apa di akhirat. Sungguh jahat harga yang dengan itu mereka jual diri mereka sendiri, kalau saja mereka mengetahui! Padahal seandainya mereka itu beriman dan bertakwa, maka pastilah akan mendapatkan ganjaran (kebahagiaan) yang lebih baik dari sisi Allah, kalau saja mereka mengetahui!” (Q., 2: 99-103).
Dalam firman Allah itu disebutkan negeri Babilonia, suatu negeri di Lembah “Antara Dua Sungai” (Mesopotamia), yaitu antara sungai Furat (Efrat) dan Dajlah (Tigris)—sekarang Irak. Daerah itu, bersama dengan Mesir, dicatat para ahli sebagai tempat menyingsingnya fajar sejarah umat manusia dan buaian (the cradle) peradaban dunia. Dalam Bahasa Arab, kawasan yang terbentang dari Nil di barat ke timur melewati lembah Mesopotamia dan terus sampai ke sungai Oxus disebut sebagai “Daerah Berperadaban” (al-Dâ’irât al-Ma‘mûrah). Dalam pandangan bangsa Yunani, kawasan itu merupakan inti Oikumene (yang harus dibedakan dari istilah Ecumene), yang istilah itu, seperti diartikan Alfred Kroeber, menunjuk “tidak hanya sebagai istilah kawasan tetapi mengacu kepada kompleks historis budaya agraria yang memiliki hubungan antar kawasan yang khusus dengan lingkup yang semakin luas”. Dan al-Dâ’irât al-Ma‘mûrah atau Oikumene itu, dengan berintikan kompleks antara Nil dan Oxus, “Tetap merupakan tempat sebagian besar kehidupan bersejarah di belahan bumi ini sampai tiba zaman modern, ketika masyarakat sistem agrari tidak lagi merupakan bentuk yang menentukan bagi masyarakat di dunia pada umumnya, karena telah digantikan oleh masyarakat berteknologi modern sejak akhir abad kedelapan belas”.
Dua tokoh makhluk yang disebutkan dalam firman-firman tersebut sebagai yang pertama mengajarkan sihir, yaitu tokoh Harut dan Marut disebutkan berasal dari Babilonia yang dalam zaman kuno merupakan asal usul banyak ilmu pengetahuan, termasuk astronomi. Kata Yusuf Ali, seorang ahli tafsir yang terkenal, “Harut dan Marut hidup di Babilonia, suatu tempat ilmu pengetahuan kuno, khususnya astronom”i. (Cak Nur), ........selanjutnya Pelet dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an.
Apakah sihir itu ada? Pertanyaan seperti itu terdengar sangat sederhana, tetapi barangkali cukup penting untuk memulai pem¬bicaraan kita. Sebab, selain ada kalangan yang tidak saja meyakini bahwa sihir itu ada—bahkan sepenuhnya menggunakan sihir itu untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang lain, namun ada juga kalangan yang mengatakan bahwa sihir adalah sejenis “gugon tuhon” atau takhayul (takhayyul—hasil khayalan). Maka jawaban atas pertanyaan itu ialah bahwa sepanjang yang kita dapatkan dalam kitab suci, sihir itu memang ada. Bahkan surah yang kedua terakhir dalam Al-Quran, yaitu surat Al-Falaq (Q., 113), merupakan doa memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan kaum sihir. Persoalannya ialah bagaimana penilaian Al-Quran terhadap sihir dan para pengamalnya itu. Dalam Al-Quran, sihir dikaitkan dengan kekafiran (yang dalam arti generiknya ialah sikap menutupi atau menolak kebenaran). Ini dapat kita simak dari rentetan firman suci, Dan sungguh telah Kami (Tuhan) turunkan kepada engkau (Muhammad) keterangan-keterangan yang jelas. Tidak ada yang menolak (kebenaran)-nya kecuali orang-orang durhaka. Apakah setiap kali mereka membuat perjanjian, segolongan dari mereka mencampakannya? Namun memang sebagian besar mereka tidak beriman. Dan tatkala datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang mendukung kebenaran apa yang ada pada mereka sendiri, justru segolongan dari mereka yang telah mendapatkan kitab suci (terdahulu) mencampakkan kitab Allah ke belakang, seolah-olah mereka tidak tahu. Dan mereka turutkan apa yang diceritakan (secara palsu) oleh setan-setan mengenai kerajaan Sulaiman. Sulaiman sendiri tidaklah menolak kebenaran, tetapi setanlah yang menolak kebenaran. Mereka (setan-setan) itu mengajari manusia sihir dan sesuatu yang diturunkan kepada Babilonia kepada (dua malaikat) Harut dan Marut. Tetapi keduanya itu tidaklah mengajari seorang pun hal tersebut (sihir) kecuali dengan mengatakan (sebagai peringatan): “Kami (berdua) ini tidak lain hanyalah percobaan (fitnah), karena itu janganlah kamu menolak kebenaran (kafir).” Namun manusia belajar dari kedua malaikat itu sesuatu (sihir) guna memisahkan seseorang dari pasangan hidupnya. Tetapi mereka dengan (sihir) itu tidak akan mampu membahayakan seseorang kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang membahayakan mereka dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Mereka sendiri benar-benar sudah tahu bahwa orang yang membeli (menggunakan) sihir itu tidak akan mendapatkan bagian apa-apa di akhirat. Sungguh jahat harga yang dengan itu mereka jual diri mereka sendiri, kalau saja mereka mengetahui! Padahal seandainya mereka itu beriman dan bertakwa, maka pastilah akan mendapatkan ganjaran (kebahagiaan) yang lebih baik dari sisi Allah, kalau saja mereka mengetahui!” (Q., 2: 99-103).
Dalam firman Allah itu disebutkan negeri Babilonia, suatu negeri di Lembah “Antara Dua Sungai” (Mesopotamia), yaitu antara sungai Furat (Efrat) dan Dajlah (Tigris)—sekarang Irak. Daerah itu, bersama dengan Mesir, dicatat para ahli sebagai tempat menyingsingnya fajar sejarah umat manusia dan buaian (the cradle) peradaban dunia. Dalam Bahasa Arab, kawasan yang terbentang dari Nil di barat ke timur melewati lembah Mesopotamia dan terus sampai ke sungai Oxus disebut sebagai “Daerah Berperadaban” (al-Dâ’irât al-Ma‘mûrah). Dalam pandangan bangsa Yunani, kawasan itu merupakan inti Oikumene (yang harus dibedakan dari istilah Ecumene), yang istilah itu, seperti diartikan Alfred Kroeber, menunjuk “tidak hanya sebagai istilah kawasan tetapi mengacu kepada kompleks historis budaya agraria yang memiliki hubungan antar kawasan yang khusus dengan lingkup yang semakin luas”. Dan al-Dâ’irât al-Ma‘mûrah atau Oikumene itu, dengan berintikan kompleks antara Nil dan Oxus, “Tetap merupakan tempat sebagian besar kehidupan bersejarah di belahan bumi ini sampai tiba zaman modern, ketika masyarakat sistem agrari tidak lagi merupakan bentuk yang menentukan bagi masyarakat di dunia pada umumnya, karena telah digantikan oleh masyarakat berteknologi modern sejak akhir abad kedelapan belas”.
Dua tokoh makhluk yang disebutkan dalam firman-firman tersebut sebagai yang pertama mengajarkan sihir, yaitu tokoh Harut dan Marut disebutkan berasal dari Babilonia yang dalam zaman kuno merupakan asal usul banyak ilmu pengetahuan, termasuk astronomi. Kata Yusuf Ali, seorang ahli tafsir yang terkenal, “Harut dan Marut hidup di Babilonia, suatu tempat ilmu pengetahuan kuno, khususnya astronom”i. (Cak Nur), ........selanjutnya Pelet dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an.
Świetnie napisane. Pozdrawiam serdecznie.
BalasHapus