"Jika belum ketemu tentu sangatlah rindu, jangan bersedih hati terus sebut namanya sampai dia datang menghampiri"

Selasa, 24 April 2018

SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PETA (PESULUKAN THORIQOT AGUNG) TULUNGAGUNG

Sejarah berdirinya “Al Ma’had As Suluuk Ath Thoriqot Al Kubro” – Pondok Pesulukan Thoriqot Agung atau Pondok PETA berawal dari kiprah Asy Syekh Al Quthub Mustaqim bin Kiai Muhammad Husein. Beliau lahir tahun 1901 Masehi (1319 H.) di Desa Kepatihan, Tulungagung, dari rahim seorang perempuan sholihah bernama Mbah Nyai Mursini asal Desa Kedungwaru, Tulungagung.

Ketika Syekh Mustaqim berusia 12 tahun, oleh ayahandanya Mbah Kiai Husein, dikirim untuk belajar agama kepada Mbah Kiai Zarkasyi di Kauman, Tulungagung. Ketika itu, Mbah Kiai Zarkasyi termasuk salah seorang ulama Tulungagung yang sering silaturrahim dengan Pendiri Nadhlatul Ulama (NU) Hadlratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang.

Dibawah asuhan Mbah Kiai Zarkasyi, Syekh Mustaqim remaja belajar Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Akhlak, Tauhid dan ilmu-ilmu lainnya. Syekh Mustaqim juga khidmat atau ngawulo kepada keluarga Mbah Kiai Zarkasyi. Beliau merawat kebersihan musholla seperti menyapu, mengepel dan menimba.

Sekitar tahun 1916, di usia 15 tahun, Syekh Mustaqim diantar pamannya, Mbah Kiai Muhammad Sholeh bin Kiai Abdul Djalil berguru ke Malangbong, Garut. Di daerah yang kini masuk wilayah Provinsi Jawa Barat itu, Syekh Mustaqim ditempa pendidikan ilmu rohani oleh Syekh Khudlori bin Mbah Kiai Muhammad Hasan yang masih termasuk pamannya.

Dari Syekh Khudlori, Syekh Mustaqim menerima ijazah dan talqin Thoriqot Qodiriyah wan Naqsyabandiyah dan Thoriqot Naqsyabandiyah. Selain itu, beliau juga menerima ijazah berbagai hizib seperti Hizib Autad (Kafi), Hizib Yamarobil, Hizib Salamah, Hizib Mubarok, Asma’ Baladiyah, Asma’ Jaljalut, dan lain-lain. Di Malangbong, Syekh Mustaqim juga mempelajari berbagai jurus silat ala Sunda.

Pada tahun 1924, di usia 23 tahun, Mbah Kiai Zarkasyi menikahkan Syekh Mustaqim dengan puteri Mbah Haji Rois yang bernama Mbah Nyai Halimatus Sa’diyah. Setelah berkeluarga, Syekh Mustaqim bersama isteri dan putra-putrinya tinggal di rumah Mbah Kiai Rois yang hingga kini menjadi lokasi Pondok PETA, Kauman, Tulungagung.

Syekh Mustaqim mulai berdakwah dengan cara mengajarkan silat. Saat itu, di masa penjajahan Belanda, memang marak masyarakat yang belajar silat. Perguruan silat banyak berdiri dimana-mana. Pertandingan atau kompetisi olah kanuragan sering digelar. Murid-murid Syekh Mustaqim semakin banyak ketika para pendekar senior takluk dan berguru kepada beliau.

Pada tahun 1930, murid-murid silat itu sering diajak berbincang ihwal ilmu agama. Terutama berkaitan dengan ilmu rohani, ilmu tauhid, dan hal ihwal tentang thoriqot. Beberapa diantaranya diajari Syekh Mustaqim tentang ilmu tasawwuf, tazkiyatul qolb, serta mengamalkan dan berbaiat Thoriqot Naqsyabandiyah dan Thoriqot Qodiriyah wan Naqsyabandiyah.

Dapat dikatakan, pada tahun 1930 itulah merupakan tonggak sejarah berdirinya Pondok PETA yang ketika itu masih disebut sebagai Pondok Kauman. Memang tidak tampak bangunan fisik yang menandakan lazimnya sebuah pondok. Namun, tahun 1933, Syekh Mustaqim mulai melakukan pembinaan rohani secara intensif kepada para murid dengan kegiatan wirid secara berjamaah.

Sebagai seorang guru thoriqot (mursyid), Syekh Mustaqim selalu menekankan kepada murid-muridnya tentang tujuan dan niat untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kalimat “laa maqshuuda illallah, laa ma’buuda illallah, laa maujuuda illallah” (tiada yang dituju selain Allah, tiada yang disembah selain Allah, tiada yang wujud selain Allah) selalu beliau hunjamkan ke kalbu murid-murid beliau.

Ajaran yang ditanamkan Syekh Mustaqim itu berlanjut pada masa kemursyidan Hadlratus Syekh Abdul Djalil Mustaqim dan lestari hingga era kemursyidan Hadlratus Syekh Charir Muhammad Sholachuddin Al Ayyubi saat ini. Segala aktifitas murid-murid Pondok PETA harus selalu diniati beribadah semata karena Allah SWT semata.

Pada tahun 1936, Syekh Mustaqim kerawuhan ulama besar yang juga seorang Mursyid Thoriqot Syadziliyah yakni Syekh Abdurrozaq bin Abdulloh At Turmusy (Pondok Pesantren Tremas, Pacitan). Beliau adalah adik kandung ulama terkemuka Indonesia yang mukim di Makkah, Syekh Mahfudz bin Abdulloh At Turmusy.

Syekh Mustaqim dan Syekh Abdurrozaq saling bertukar ilmu dan wirid. Syekh Abdurrozaq yang biasa disapa Den Dur mengijazahkan aurod Thoriqot Syadziliyah kepada Syekh Mustaqim. Saat itu, Den Dur bahkan berpesan kepada Syekh Mustaqim agar mengembangkan dan mensyiarkan Thoriqot Syadziliyah.

Atas amanat Syekh Abdurrozaq itulah, diantara tiga thoriqot yang diajarkan, Thoriqot Syadziliyah merupakan thoriqot yang lebih banyak diajarkan kepada murid-murid Pondok PETA. Bahkan sampai sekarang, Pondok PETA lebih dikenal sebagai Pondok Thoriqot Syadziliyah. Den Dur juga mengijazahkan berbagai hizib yang diambil dari khazanah Thoriqot Syadziliyahseperti Hizib Bahr, Hizib Barr, Hizib Nashr, Hizib Hujub, Hizib Khafidhoh, dan Sholawat Nurudz Dzati.

Namun, di Pondok PETA sejak dulu hingga sekarang, Thoriqot Qodiriyah wan Naqsyabandiyahmenjadi amalan wajib setiap ba’da sholat lima waktu. Sedangkan Thoriqot Naqsyabandiyahhanya diijazahkan kepada murid-murid tertentu dan dalam jumlah yang sangat terbatas. Aurod Thoriqot Naqsyabandiyah diamalkan secara berjamaah hanya di malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir setiap bulan Ramadhan.

Sampai tahun 1960-an, pondok yang didirikan Syekh Mustaqim itu masih lekat dengan sebutan Pondok Kauman. Nama Pondok PETA baru muncul tahun 1963 saat Tulungagung menjadi tuan rumah Muktamar Jam’iyah Ahlith Thoriqoh al Mu’tabaroh (JATM) III.

Pada muktamar tanggal 28 hingga 30 Juli 1963 itu, Pondok PETA dan murid-muridnya mengambil peran yang cukup penting.  Acara ditempatkan di Gedung Balai Rakyat, Sekolah MINO, dan Masjid Agung Al Munawwar yang semuanya terletak di dekat alun-alun Tulungagung.

Namun, kantor kesekretariatan, pusat konsumsi dan tempat peristirahatan sebagian muktamirin berada di Pondok PETA.  Sekretaris Panitia Muktamar JATM III dijabat murid Pondok PETA yang bernama Mbah Diyaruddin.  Sehari-harinya, Mbah Diyaruddin di Pondok PETA memiliki tugas sebagai sekretaris dan penulis khot (khotthot).

Nama Pondok PETA merupakan singkatan dari PESULUKAN THORIQOT AGUNG yang mengandung arti sebuah pondok pesulukan yang mengajarkan tiga thoriqot agung sekaligus, yaitu :

1.      Thoriqot Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
2.      Thoriqot Naqsyabandiyah
3.      Thoriqot Syadziliyah

Selain itu, nama PETA juga merupakan singkatan dari PEMBELA TANAH AIR yang mengandung arti bahwa di Pondok PETA juga diajarkan hal-hal yang bersifat kemanusiaan serta ditanamkan rasa patriotisme dan nasionalisme yang tinggi. (ufi/pondokpeta.id)

6 komentar:

  1. Kangen Pengen Silaturahim ke Pondok PETA lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. semoga kita semua termasuk yg selalu denkat dengan pondok PETA, karena istiqomah mengamalkan ajaran thoriqohnya

      Hapus
  2. 8 tahun ngawulo di sana cuman pernah di ajari secara langsung oleh alm. mbah jalil tentang adab menyediakan minuman dan mengutamakan tangan kanan dalam aktifitas juga kebiasaan menjaga wudhu.
    Terdengar sepele, apalagi waktu itu yang di wejang juga ada para ustad alumni pondok2 besar.
    Ternyata berat mraktekinnya.
    huehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Alfian sangat beruntung bertemu dan mendapatkan ilmu langsung dari beliau.

      Hapus
  3. Semoga Allah mampyukan utk silaturrahim ke Pondok PETA

    BalasHapus
  4. Mugi saget kecipratan barokahe beliau beliau poro guru PETA

    BalasHapus