"Jika belum ketemu tentu sangatlah rindu, jangan bersedih hati terus sebut namanya sampai dia datang menghampiri"

Rabu, 24 Juli 2019

KH. MAHFUDZ SYAFI'I GURU AGUNG PEMBAWA THORIQOH PONDOK PETA TULUNGAGUNG

I. KELAHIRAN

Hadlratussyekh Mahfudz Syafi'i Pendiri Ponpes Al-Istighotsah
Di Provinsi Jawa Timur, terdapat sebuah kabupaten yang bernama Jombang yang di kenal dengan kota santri, bahkan ada yang menyatakan bahwa kota Jombang adalah pusat pondok pesantren di tanah jawa karena hampir seluruh pendiri pondok pesantren di jawa pernah berguru di Jombang. Konon, Jombang berasal dari akronim bahasa jawa IJO yang berarti HIJAU dan ABANG yang berarti MERAH yang kemudian di satukan menjadi IJO-ABANG atau JOMBANG.

Jombang dulu adalah wilayah kerajaan Majapahit bagian barat, Jombang kemudian terpisah dari  Mojokerto di bawah pemerintahan Bupati Raden Adipati Ario Kromojoyo yang di tandai dengan tampilnya pejabat pertama mulai tahun 1910 M. sampai 1930 M., yaitu Raden Adipati Ario Suryo Adininigrat.

Pada tahun ketiga setelah inilah bersamaan peristiwa duka kyai besar Jombang yang kitabnya di gunakan seluruh santri indonesia  bahkan para mahasiswa termasuk mahasiswa luar negri, yaitu kyai Muhammad Ma’shum Bin ‘Ali penyusun kitab Ilmu Shorof  Al-Amtsilatut Tashrifiyyah wafat, yakni tepatnya pada hari Kamis, 9 Maret di tahun yang sama 1933 M. Atau 12 Dzul Qo’dah 1351 H. Lahirlah seorang bayi laki-laki putra pertama dari pasangan suami istri Bapak URIP dan Ibu MUNFA’ATUN. (saat itu nama Urip berubah menjadi Syafi’i karena kebiasaan orang dulu yang merubah namanya setelah pulang haji).


Bayi itu lahir tepatnya di desa Genuk Watu (Indonesia = Gentong Batu), sekitar 12 KM. di Selatan Tebuireng, kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang yang di beri nama Mahfudz. Keluarganya sering memanggil nama kecilnya dengan sebutan, “PUD”. (menurut cerita, dahulu bernama Muhammad Mahfudz yang kemudian berubah menjadi Mahfudz, lalu berubah lagi menjadi Mahfudz Syafi’i dengan mengambil nama Ayahnya, yaitu Syafi’i hingga wafat. Saat ini sebagian dari putra putrinya juga ada yang mengambil nama beliau sebagai namanya tetapi dalam bentuk inisialnya, yaitu MS. Atau Mahfudz Syafi’i yang juga berarti bisa berinisial dari Ibu, yaitu Muhshonah; Istri beliau). Beliau adalah putra sulung dari 6 bersaudara (4 Putra dan 2 Putri), yaitu di mulai dari beliau :

1. MAHFUDZ
Beliau adalah seorang putra dari putra pertama dan Pendiri serta Pengasuh Pondok Pesantren AL-ISTIGHOTSAH Gardu Sawah (tempat pertama berdirinya Pondok Pesantren Al-Istighotsah, pada Dzul-Hijjah 1414 H. / Juni 1994 M.) yang kini di kelola oleh putra putrinya yang berada di 3 tempat, yaitu Al-Istighotsah sukatani, Al-Istighotsah Bulak Kapal dan Al-Istighotsah Setu, Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

Tentang lambang pada logo Al-Istighotsah, Beliau pernah mengatakan bahwa Bintang adalah gambaran dari Waliyulloh (kekasih Allah), jumlah 9 adalah delegasi ekspedisi keagamaan di Indonesia pada zaman dahulu yang berjumlah 9 orang (Wali Songgo). Ka’bah adalah gambaran dari hati manusia, dikanan dan kiri Ka’bah adalah Al-Qur’an dan Hadits. Dibawah ka’bah, Al-Qur’an dan Hadits adalah perahu kapal yang menggambarkan Thoriqoh, dibawah perahu kapal adalah air yang menggambarkan ‘Ilmu. Semua lambang dikelilingi oleh garis tepi yang berbentuk melati.

2. HAFIDZ
Beliau adalah seorang putra dari putra ke dua dan Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hidayah di daerah Tlogo, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur yang sekarang di teruskan oleh Istri dan putra putrinya setelah beliau wafat.

3. MASLAHATIN
Beliau adalah seorang putri dari putra ke tiga dan istri dari suaminya kyai Shodiq Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Genuk watu, Ngoro, Jombang, Jawa Timur; sedangkan Kyai Shodiq adalah Paman dari Kyai Jamal, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Saat ini di teruskan oleh putra putri dan cucu-cucunya setelah wafatnya Ibu Nyai Maslahatin dan Kyai Shodiq.

4. SHOBIHI
Beliau adalah seorang putra dari putra ke empat dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda, Bahoro, Banjarworo, Bangilan, Tuban, Jawa Timur yang sekarang di teruskan oleh Istri dan putra putrinya setelah beliau wafat.

5. MASHUN
Beliau adalah seorang putra dari putra ke lima dan telah wafat sebelum beliau beranjak remaja sekitar umur 10 atau 11 tahun.

6. MASHUNAH
Beliau adalah seorang putri dari putra ke enam dan keponakan dari Kyai Zamrozi Pengasuh Pondok Pesantren Roudhotul ‘Ulum Kencong, Kepung, kediri, Jawa Timur yang hingga saat biografi ini di tulis beliau masih ada dan tinggal di sana.

Ayah beliau wafat tahun 1985 M. ketika beliau berumur sekitar 50 tahun; sedangkan Ibu beliau wafat sekitar tahun 2002-2003 M. ketika beliau berumur sekitar 70 tahun. Ayah beliau adalah seorang petani yang tekun beribadah, hidupnya sangat bersahaja dan mempunyai prinsip, walaupun sebagai petani, namun cita-citanya adalah agar semua putranya menjadi ‘ulama. Dengan idzin Alloh semua itu terbukti, putranya bahkan cucunya menjadi ‘ulama yang mengasuh beberapa Pon. Pes. di berbagai daerah.


II. NASAB
Dari sumber yang telah tergali, diketahui susunan nasab (Garis keturunan) beliau dari arah ayah adalah KH. Mahfudz Syafi’i bin H. Syafi’i bin Ahmad bin ‘Ainul Yaqin. Sedangkan dari arah ibu adalah KH. Mahfudz Syafi’i bin Munfa’atun bin Syairozi bin ‘Abdus Syukur bin ‘Abdul Mannan At-Turmusi.

III. KERABAT
Mungkin memang karena selain beliau orang yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmunya hingga menjadi orang yang baik  beliau juga mungkin adalah orang yang memang akan menjadi cikal bakalnya penerus ‘ulama yang memang sudah ada pada darah beliau dari sebelumnya yang pada kenyataannya keluarga kandung hingga kerabat beliau memang banyak yang mengasuh Pondok Pesantren. Dari beberapa Pondok Pesantren yang masih keluarga kandung dan kerabat dekat atau jauh dengan beliau adalah :

  1. Pondok Pesantren Al-Istighotsah, Bekasi.
  2. Pondok Pesantren Mahir Arriyadl-Ringin Agung, Kediri.
  3. Pondok Pesantren Darun Naja, Bakung, Blitar.
  4. Pondok Pesantren Islahiyyatul Asroriyyah, Ringin Agung, Kediri.
  5. Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in, Lirboyo, Kediri.
  6. Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam, Mantenan, Blitar.
  7. Pondok Pesantren Mamba’ul Hidayah, Kanigoro, Blitar.
  8. Pondok Pesantren Mamba’ul Huda, Ngoro, Jombang.
  9. Pondok Pesantren Nurul Huda, Bangilan, Tuban.
  10. Pondok Pesantren Roudhotul ‘Ulum, Kencong, Kediri.
  11. Pondok Pesantren Mamba’ul ‘Ulum, Trenggalek.
  12. Pondok Pesantren Darun Najah, Bendo, Kediri.
  13. Pondok Pesantren Mayan, Kediri.
  14. Pondok Pesantren Bangkalan, Gambar, Blitar.
  15. Pondok Pesantren Krempyang, Nganjuk dan beberapa Pondok Pesantren – Pondok Pesantren lainnya yang masih banyak lagi yang jumlahnya mungkin mencapai puluhan dari yang kecil hingga besar.

IV. AWAL MULA PENDIDIKAN

KH. Mahfudz Syafi'i dan Ibu Nyai Hj. Muchsonah
di Setu Panjalu Ciamis Jawa Barat
Masa kecil beliau adalah masa yang sedikit beliau habiskan untuk bermain, karena beliau sudah mulai menimba ilmu ketika beliau belum khitan sekitar umur 8 tahunan. Sekitar tahun 1941 M. Beliau di pesantrenkan ayahnya ke Pondok Pesantren Seblak di bawah asuhan KH. Mahfudz Anwar dan sekolah di madrasah Tebuireng di bawah asuhan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari Jombang, Jawa Timur. Kemudian beliau meneruskan sekolahnya di madrasah Genuk Watu tempat tinggal beliau. Di tahun 1952 M. KH. Syairozi membawa beliau ke Kediri untuk meneruskan pelajarannya  ke Pon. Pes. Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo, Kediri, Jawa Timur di bawah asuhan KH. Abdul Karim. Setelah itu beliau melanjutkan kembali pendidikannya di Pondok Pesantren Lasem, Jawa Tengah Di bawah Asuhan KH. Masduqi. Dari Lasem beliau meneruskan lagi  di Pondok Pesantren Mojosari di bawah asuhan KH. Zainuddin. Beliau juga kemudian melanjutkan pendidikanya ke Pondok Pesantren Kaliwungu, Semarang, Jawa tengah di bawah asuhan KH. Muslih. Diceritakan ada beberapa lagi tempat Pondok Pesantren yang beliau singgahi untuk menuntut ilmu, di antaranya Magelang-Jawa Tengah, Papar-Jawa Timur, Dunglo-Jawa timur, Sarang-Jawa Timur, dan Pondok Pesantren- Pondok Pesantren lainnya. Namun Pondok Pesantren terlama yang beliau singgahi adalah Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur sekaligus menjadi tempat beliau menyelesaikan jenjang pendidikan sekolahnya hingga lulus. Terhitung lamanya beliau menuntut ilmu sekitar dari tahun 1941 M. hingga 1965 M., kurang lebih adalah 30 tahun, sedangkan adiknya Hafidz lebih lama sekitar 5 tahun.

Pernah ketika beliau mondok bersama adiknya Hafidz, kehabisan uang dan belum di kirim, mungkin pulang pun tidak berani karena kalau pun pulang dengan alasan yang tidak tepat malah mendapatkan marah bahkan sabetan hingga kurungan karena tegasnya ayah beliau dalam mengarahkan putranya pada hal yang berhubungan dengan pendidikan agama. Akhirnya beliau dan adiknya hanya meminum air putih untuk mengenyangkan perutnya. Itulah salah satu dari beberapa perjuangan beliau ketika menuntut ilmu yang sudah beliau lalui ketika masih kecil.

Di waktu beliau masih kecil beliau sudah mempunyai cara berfikir dan prinsip yang baik. Dalam pemikirannya,  yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Pada saat itu terjadi sesuatu antara beliau dengan adiknya yang kemudian terjadi kesalahpahaman hingga beliau yang  di salahkan. Maklum, keduanya masih anak-anak, sedangkan beliau adalah yang lebih besar, maka beliau-lah yang menjadi sasaran kesalahpahaman itu. Beliau berkata, “saya tidak suka di salahkan, padahal yang salah pada waktu itu adalah jelas adik saya. Semestinya adalah yang salah itu adalah salah dan yang benar itu adalah benar walaupun saya yang lebih besar dan adik saya yang masih kecil”. Cerita ini jugalah yang mungkin menjadi hubungan di dalam do’a khasnya yang sering beliau lantunkan.

اللهم ارنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وارنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه
"Ya Allah, tunjukkanlah kami kebenaran adalah sebagai kebenaran dan berikanlah anugrah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kami kesalahan adalah sebagai kesalahan dan berikanlah anugrah kami untuk menjauhinya".

Kecerdasan beliau terlihat dari daya hafalan beliau yang baik. Beliau mampu melafadzkan tanpa melihat Nadzom Al-Fiyyah atau Sya'ir 1000 baris yang berisikan pembahasan ilmu alat Nahwu dan Shorof yang telah terkenal dikalangan santri dan mahasiswa di mulai dari awal hingga akhir dan sebaliknya di mulai dari belakang hingga ke depan dengan waktu hanya sekitar 30 menit, bahkan adiknya Hafidz mampu dengan waktu hanya sekitar 15 menit. (dalam suatu percobaan, melafadzkan dengan cepat dari awal hingga akhir dengan melihat tulisannya serta di iringi suara musik tabuhan ala pesantren itu saja membutuhkan waktu sekitar 1 1/2 jam, itupun tidak semua orang yang sudah terbiasa bisa dan atau jelas lafadznya, karena beberapa lafadznya sulit untuk di baca, apalagi apabila di mulai dari belakang hingga ke depan).

Saat beranjak dewasa, beliau adalah orang yang gemar dengan mata pelajaran ilmu alat Nahwu, Shorof, Balaghoh, Mantiq. Kemudian waktu demi waktu beliau berganti kegemaran dengan ilmu Fiqih yang kemudian akhirnya beliau menyenangi ilmu Tashowwuf dan Tauhid.


V. JENJANG PERNIKAHAN

Setelah beliau menimba ilmu di berbagai Pondok Pesantren maka beliau kemudian melaksanakan sunnah Nabi dengan menikah. Terjadinya pernikahan beliau, tidaklah seperti kebanyakan orang zaman sekarang yang sebelum menikah sudah mengetahui calonnya dan atau telah mengenal bahkan mungkin berkenalan hingga berpacaran dan sampai melakukan sesuatu yang dilarang agama dengan dalih agar mengenal lebih dalam supaya tidak kecewa dan menyesal setelah menikah nanti, Na’udzu billah. Beliau adalah orang yang sangat tidak suka kepada sesuatu hal di dalam antara hubungannya orang laki-laki dengan perempuan yang tidak pada tempatnya, seperti pacaran misalnya. Maka karena inilah di Pondok Pesantren Al-Istighotsah hal ini menjadi khas sekaligus peraturan yang keras terhadap santri yang coba untuk melanggarnya hingga sekarang.

Sebelum beliau bertemu dengan calon istrinya, beliau pernah bermimpi di tarik belalai gajah yang di tunggangi oleh KH. Hasbulloh, yang di lain cerita bahwa Bapak Muhaimin (Kakak dari Ibu Muhsonah yang juga putra dari KH. Hasbulloh yang bertempat tinggal di Kutoanyar, Tulungagung, Jawa Timur) adalah kenalan beliau sewaktu mondok di Kyai Shodiq, Jombang, Jawa Timur yang adalah adik Ipar beliau. Karena perkenalan antara Bapak Muhaimin dan beliau inilah maka menjadi penyambung antara kedua pihak. Bapak Muhaimin memberitahukan prihal beliau kepada ayahnya KH. Hasbulloh yang akhirnya terjadi proses panjang yang berkelanjutan hingga ke pernikahan.

Menurut versi cerita lain, di ceritakan terlebih dahulu Kyai Shodiq sebagai adik Ipar beliau yang telah lama masuk Thoriqoh Kauman, Tulung Agung di bawah asuhan Kyai Mustaqim telah menjadi kebiasaannya selain bertemu Kyai Mustaqim Kyai Shodiq juga menemui KH. Hasbulloh Kuto Anyar Tulung Agung yang juga aktif di Kauman Tulung Agung. Dari perkenalan inilah yang kemudian berlanjut kepada perjodohan antara beliau dengan putri KH. Hasbulloh, yaitu Muhshonah. Kyai Shodiq membawa photo Ibu Muhsonah untuk ditunjukan kepada beliau yang kemudian beliau cocok dengan orang yang ada di photo itu hingga akhirnya beliau nikahi. Beliau menikah dengan Ibu Nyai Hj. Muhshonah Ch. Sekitar tahun 1960-an di usia beliau yang 35 tahun, sedangkan usia Ibu adalah 16 tahun. Memang mungkin usia beliau relatif tua dan usia istri beliau relatif muda apabila di bandingkan pada zaman sekarang ini, tetapi hal ini beralasan. Persiapkan segala sesuatunya sampai cukup matang dalam segala hal, dan untuk apa menunda sesuatu kebaikan apabila telah cukup matang dalam segala hal.

Pernikahan beliau dengan Ibu Nyai Hj. Muhshonah Ch. di karuniai 8 orang putra (4 putra dan 4 Putri), yaitu : Mahsuroh, Ma’nunah, Mardiah, Maftuh al-Hikam menikah dengan Imansiaturrosyidah (cucu dari Kyai Mustaqim atau keponakan dari Kyai Jalil Kauman, Tulung Agung), Hani’ Masykuri, Ali Mansur (wafat ketika masih kecil dikarenakan sakit), Layyinatuddiyanah, dan Fatih Fu’ad.

Setelah beliau (KH. Mahfudz Syafi’i) menikah dengan putri KH. Hasbulloh yang memang aktif di Kauman Tulungagung, beliau kemudian masuk Thoriqoh dan di bai’at langsung oleh Kyai mustaqim. Setelah di bai’at beliau di perintah KH. Hasbulloh agar bertirakat suluk (berpuasa) di Kauman selama 40 hari, tetapi dalam waktu 10 hari saja beliau sudah di panggil oleh Kyai Mustaqim dan di perintah untuk pulang.

Pasca pernikahan, beliau tinggal di Genuk Watu, Jombang bersama istri dan putranya yang masih kecil. Beliau mengajar dan ikut serta bersama masyarakat mendirikan Madrasah Ibtida’iyyah dan Tsanawiyyah di desa itu.

Beliau pada saat itu bukanlah orang yang berlimpah kemewahan, harta berharga satu-satunya adalah kitab-kitabnya. Jumlah kitab yang beliau miliki sangat banyak, karena itulah tak heran kalau beliau pernah kemalingan dan kehilangan banyak kitab. Mungkin malingnya juga bingung, apa yang akan dia ambil di dalam rumah itu, karena harta paling berharganya adalah hanya kitab-kitab milik beliau. Semua kitab beliau apabila di ukur, mungkin sebanyak tiga lemari besar. Sayang, kitabnya banyak yang hilang karena dicuri, di pinjam, rusak karena berumur tua, tidak terurus dan lain sebagainya. Kitabnya yang tersisa kini hanyalah tinggal satu lemari besar yang masih tersimpan hingga sekarang.

Karena memang kehidupan beliau yang tidak berlimpah harta, pernah beliau hanya memiliki satu kain sarung yang di gunakan bergantian dengan istrinya. Bahkan, mereka tidak pernah meminum air manis yang di beri gula, seandainya pernah pun, itu hanya satu atau dua kali saja, yakni sangat jarang. Beliau setiap pagi buta sekitar jam 3  selalu berangkat ke sawah dan pulang kembali siang hari.

Kehidupan beliau setelah menikah ini memang terbilang sulit dan ekstrim bila di pandang dari sisi negatif. Tapi beliau pernah berkata, “istri saya adalah orang yang solihah, karena dalam kehidupan yang seperti ini pun dia tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan dan menuntut”. Kehidupan mereka dalam keadaan seperti ini seakan sama sekali tidak mempengaruhi perjalanan bahtera rumah tangga mereka berdua, bahkan harmonis dan tetap berjalan seperti biasanya.


VI. MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN AL-ISTIGHOTSAH

Pada hari Rabu pagi, Bulan Maret 1994 M. atau Bulan Dzul-Hijjah 1414 H. bersama istri dan semua putra putrinya, beliau telah mendirikan sebuah lembaga pendidikan Pondok Pesantren Salaf pada tahun 1992 M. yang bernama AL-ISTIGHOTSAH yang di gagas oleh beliau walaupun hanya baru di atas proposal yang rencananya sekaligus agar dapat menjadi wadah seluruh jama’ahnya yang  berhaluan Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah. Pondok Pesantren Al-Istighotsah, Gardu Sawah, Cikarang, Bekasi yang menjadi tempat pertama berdirinya lembaga pendidikan aktif  yang beliau bangun sendiri, kini kegiatan aktifnya telah berpindah di daerah selatan Bekasi, lebih tepatnya di Kp. Cinyosog, Ds. Burangkeng, Kec. Setu, Kab. Bekasi. Sampai saat ini ada tiga tempat peninggalan jariyah perjuangan beliau dengan nama lembaga yang sama dan pengelola yang telah beliau tunjuk sendiri dari putra putrinya akan tetapi berbeda daerah, yaitu :

  1. Pondok Pesantren AL-ISTIGHOTSAH Sukatani; di asuh oleh Ibu Nyai Mahsuroh & Bapak Kyai Maftuh Al-Hikam.
  2. Pondok Pesantren AL-ISTIGHOTSAH Bulak Kapal; di asuh oleh Ibu Nyai Mardiyah & Bapak Kyai Hani’ Masykuri.
  3. Pondok Pesantren AL-ISTIGHOTSAH Setu; di asuh oleh Ibu Nyai Layyinatuddiyanah & Gus Fatih Fu’ad.

VII. VISI-MISI

Puncak manusia diciptakan adalah untuk mengetahui dengan yang menciptakanya, begitulah kurang lebih isi kandungan dari hikmah setiap perkataan dan tindakan yang selalu beliau perlihatkan. Sehingga sering kali beliau memberitahu, mengajak, mengajarkan dengan mengatakan, menganjurkan, mengingatkan, menegur dan lain sebagainya berulang-ulang akan berdzikir, yakni mengungkapkan Alloh dimulai dengan menyebut Diri-Nya, mengingat Diri-Nya, merasakan Diri-Nya hingga akhirnya mengetahui Dirinya bahwa hanya Diri-Nya-lah yang memiliki sifat ada (Wujud) yang kemudian menjadi lebur hilanglah yang Si-yang mengetahuinya dan menyatakan bahwa yang ada hanya Dia (Pencipta). Karena itulah beliau mengatakan, hanya dzikirlah yang menjadi alat sekaligus proses tercepat untuk sampai (mengetahui) kepada yang sejati (Alloh). Karena hal inilah, beliau selalu menghubungkan dan mengembalikan segala sesuatu kepada Alloh yang mana terlebih nampak ada pada tiap ucapannya, sampai-sampai beliau dikatakan sebagai orang yang “ngajinya Alloh melulu”.

Ilmu yang membahas hal seperti ini sudah barang tentu di dasari oleh pondasi Syari’at Agama yang kemudian memasuki dalam wilayah teritorial Tashowwuf yang berlandaskan Thoriqoh yang akhirnya membuahkan Hakikatnya Tauhid sebagaimana beliau mengatakan, Ilmu ada tiga; Syari’at (Fiqih, Ushul Fiqih, Qo’idah Fiqih dsb.), Thoriqoh (Tashowwuf, Akhlak dsb.) dan Hakikat (Tauhid).
Mbah Hasbulloh Marzuki adalah ayah dari istri KH. Mahfudz Syafi’i, yaitu Nyai Hj. Muhshonah Ch. (Ayah mertua sekaligus guru dari KH. Mahfudz Syafi’i). Beliau lahir di Kolomayan, Kediri, Jawa Timur pada hari Selasa Kliwon, 09 April 1901 M. atau 19 Dzul Hijjah 1318 H. yaitu putra dari pasangan suami istri KH. Marzuqi dan Nyai Kasiyam. Nasab KH. Hasbulloh bersambung kepada Seorang ‘Alim Hasan Besari, Ponorogo. Pada saat kecil beliau mengaji dan sekolah di Pondok Pesantren Ploso, Kediri, Jawa Timur yang diasuh oleh KH. Imam Jazuli. Karena kondisi Ekonomi beliau, maka jarak Kolomayan–Ploso yang sekitar 7 km beliau tempuh dengan berjalan kaki setiap harinya dan mengaji serta sekolah dengan perlengkapan sederhana bahkan dengan pakaian yang hanya satu-satunya untuk di kenakan setiap hari. Pernah pada suatu saat beliau dikeluarkan dari kelas dan tidak boleh mengikuti pelajaran karena belum membayar iuran. Namun, karena kegigihan dan semangat beliau yang tinggi, beliau rela belajar diluar kelas dibawah jendela.

Saat telah beranjak dewasa, beliau dijodohkan oleh keluarganya dengan sepupunya sendiri yaitu Nyai HJ. Ummi ‘Afifah putri dari pasangan suami istri H. Ridwan dan Hj. Hasanah. Beliau menikah pada umur 42 tahun, sedangkan Nyai HJ. Ummi ‘Afifah berumur 13 tahun yang kemudian dianugerahi beberapa orang putra dan putri, yaitu : Muhaimin, Muhshonah (Istri KH. Mahfudz Syafi’i), Muhayyaroh (Istri KH. Zaed ‘Abdul Hamid, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Mahir Arriyadh, Ringinagung, Pare, Kediri serta Pengasuh Pondok Pesantren Putri Islahiyyatul Ashroriyyah, Ringinagung, Pare, Kediri), Muhsin, Muhsinin, Mudhi’atuzzaman (Istri KH.’Abdulloh Faqih, pengasuh Pondok Pesantren Darun Naja, Bakung, Udanawu, Blitar, Jawa Timur), Munifah, Munawwaroh, Mudzakir, Alwi Mubarid, Muslimatul Bariroh (Istri Kyai Burhanuddin Qomari, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum, Gedangan, Kandangan, Kediri, Jawa Timur), Mudrikatul Ashroriyyah, Ahmad Ali Murtadho, Muhtajuddin, Nana Mu’ayyanah.

Mbah Hasbulloh wafat pada hari Rabu malam Kamis pukul 02:30 wib pada 29 Maret 1995 M. bertepatan 27 Syawwal 1415 H., sedangkan istri KH. Hasbulloh yaitu Nyai HJ. Ummi ‘Afifah, dilahirkan di Tulungagung pada Minggu Pahing tanggal 12 Maret 1922 M. atau 12 Rojab 1340 H., dan wafat pada hari Rabu pukul 14:00 wib pada 04 Mei 1994 M. bertepatan 22 Dzulqo’dah 1414 H. (Terjadi perbedaan didalam keluarga dalam menjelaskan waktu persisnya kelahiran dan wafat, namun waktu yang tertera adalah waktu yang mendekati akurat)

Mbah KH. Hasbulloh Marzuki merupakan murid pertama kali yang meminta untuk di bai’at kepada gurunya yaitu Mbah Kyai Mustaqim bin Husein dari sekian banyak murid yang pada saat itu belum ada satupun yang di bai’at. Kyai Mustaqim pernah memerintahkan KH. Hasbulloh untuk mencari tujuh orang (termasuk KH. Hasbulloh) yang masih murni dan belum pernah bermaksiat (zina) yang kemudian diperintahkan untuk meminum minyak al-Qur’an, tetapi dari ketujuh orang itu, hanya ada tiga orang yang meminum minyak al-Qur’an itu, yaitu : KH. Hasbulloh (wafat di Tulungagung), Kyai Mubin (wafat di Tulungagung), dan Kyai Murtaji (wafat di Tulungagung).

Kyai Mustaqim menugaskan penyebaran Thoriqoh kepada tiga orang delegasi tersebut dengan tugas yang berbeda-beda. KH. Hasbulloh ditugaskan mengikuti kongres Thoriqoh Syadziliyyah, Qodiriyyah dan Naqsabandiyyah di Krapyak–Yogyakarta, Lasem, Mojosari-Nganjuk, Bendo – Pare dan memimpin para murid di kauman, Tulungagung saat itu. Untuk Kyai Mubin, beliau ditugaskan keluar negeri, yaitu Jerman, Belanda, Perancis dengan berjalan kaki. Sedangkan Kyai Murtaji ditugaskan dikauman, Tulungagung. Diantara tugas Kyai Mubin adalah membimbing para santri dan sebagai Thobibnya pada saat itu. Kini tempat itu (di kauman, Tulungagung) bernama Pondok PETA (Pondok Pesulukan Thoriqot Agung). (ASR)

Sumber: Karya Tulis Gus Fatih Fuad MS, (Putera Bungsu KH. Mahfudz Syafi’i)
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Istighotsah Setu Bekasi Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar